Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak di sekitar garis ekuator yang mempunyai karakteristik cuaca, musim serta iklim unik. Sepanjang tahun dilalui oleh gerak semu matahari dimana pada tanggal 21 Maret dan 23 September matahari tepat di atas ekuator. Oleh karena itu maka dia mengalami siang dan malam hari relatif sama yakni 12 jam. Gradien horizontal temperatur dan tekanan udaranya relatif kecil, berbeda sekali dengan di lintang lintang yang lebih tinggi misalnya di Negara Negara sub tropis dan di lintang tinggi, oleh karenanya maka kecepatan anginnya relatif rendah. Indonesia mempunyai kelembapan udara yang relatif tinggi apalagi pada saat musim hujan. Banyak perawanan terbentuk di wilayah ini karena merupakan wilayah bertekanan udara rendah serta dikelilingi oleh perairan yang hangat. Pergeseran ITCZ intertropical convergence zone melalui wilayah ini. Di antara 4 proses pembentukan perawanan, 3 diantaranya mempengaruhi perawanan di Indonesia yakni proses konvektif, konvergensi, dan orografis. Proses frontal tidak terjadi di wilayah Indonesia. Berikut ini adalah gambaran 4 proses pembentukan awan yang terjadi di dunia.
Zona perawanan ITCZ merupakan wilayah dengan perawanan konvergensi yang masif yang berdampak pada pembentukan hujan. Seperti diketahui bahwa zona konvergensi ini merupakan zona dimana kecepatan anginnya rendah atau yang sering disebut doldrum. Meski ada temuan baru oleh ilmuwan Jerman terkait dengan doldrum namun di sini tidak dikemukakan hal tersebut karena membutuhkan penelitian lebih lanjut khususnya atmosfer di wilayah Indonesia yang demikian kompleks. Mengingat masa udara dari wilayah sekitar lintang 30o bertekanan tinggi dan lintang 0o bertekanan rendah maka massa udara menuju wilayah ekuator. Pembentukan awan konvektif dan konvergensi di wilayah ini merupakan bagian dari sirkulasi Hadley yang sangat jelas. Karena merupakan wilayah kepulauan maritim maka perawanan di atas wilayah Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Ini berbeda dengan perawanan di atas Afrika dan Amerika latin dimana keduanya merupakan wilayah daratan tropis. Karenanya maka energy laten yang besar dilepaskan di tiga wilayah tersebut dan berperan utama pada pembentukan gelombang gelombang dan osilasi osilasi atmosfer yang mempengaruhi cuaca dan iklim global. Energi laten yang besar inilah yang kemudian turut berperan besar dalam mengatur cuaca, musim dan iklim dunia. Sejumlah pengamatan dengan menggunakan radar menunjukkan hal tersebut. Meski tidak sebesar Giant Radar yang dibangun di Ibaraki Jepang namun radar ekuator yang dibangun di Kototabang Bukittinggi Sumatera Indonesia mempunyai peran penting untuk mengungkap misteri perilaku atmosfer di wilayah sekitar ekuator. Sejak tahun 1992 radar tersebut digunakan Indonesia, yang bekerjasama dengan Jepang, untuk mempelajari setiap lapisan dari troposfer sampai thermosfer dan banyak paper di jurnal internasional yang menggunakan data radar tersebut baik ditulis oleh ilmuwan Indonesia maupun Jepang. Dengan membangun radar MF (Middle Frequency) di Pontianak Kalimantan Indonesia bekerjasama dengan Australia menghasilkan informasi pula tentang atmosfer di ekuator, demikian pula dengan pembangunan wind profiling radar (WPR) di Biak Papua Indonesia bekerjasama dengan NOAA (National Ocean and Atmospheric Administration) Amerika Serikat.
Perawanan orografis juga banyak terbentuk
mengingat topografi yang demikian kompleks. Indonesia mempunyai rentetan
pegunungan dari ujung pulau Sumatera sampai dengan Nusa Tenggara yang merupakan
deretan pegunungan sirkum Mediterania sedangkan di
pulau Sulawesi dan Papua terbentang pegunungan sirkum Pasifik. Adanya gunung
dan deretan pegunungan ini membuat kondisi lokal suatu tempat yang
berdekatan dengannya menjadi demikian kompleks. Awan awan orografis banyak
terbentuk dan mempengaruhi cuaca, musim dan iklim di sekitar pegunungan. Efek
dan angin Fohn terjadi di beberapa wilayah misalnya di Sumatera ada angin
Bohorok, di Jawa ada angin Kumbang, di Papua ada angin Wambraw. Selain dampak
yang merugikan yang biasa disampaikan kepada publik sejak puluhan tahun
yang lalu namun ada efek angin Kumbang yang menguntungkan yakni mengurangi hama
dan penyakit tanaman. Sifatnya yang hangat dan kering menyebabkan hama dan
penyakit tanaman tersebut mati dan tersapu ke tempat yang lain. Ini terjadi
pada angin Kumbang yang berada di gunung Ciremai Jawa Barat.
Hujan bisa terbentuk ketika tetes tetes air
jatuh ke permukaan bumi setelah mengalami proses fisis di dalam awan.
Hujan merupakan bentuk presipitasi yang paling umum terjadi di Indonesia. Musim
dan iklim di Indonesia ditandai oleh banyaknya curah hujan yang terjadi.
Terdapat 3 pola curah hujan di tanah air yakni tipe A atau monsoonal, tipe B
atau ekuatorial, dan tipe C atau lokal.
Tipe monsoonal ditandai dengan satu puncak musim hujan dan satu lembah curah hujan sehingga bentuknya menyerupai huruf U atau V. Pola ekuatorial ditandai dengan dua puncak musim hujan yang terjadi sekitar bulan MAM dan SON serta hampir sepanjang tahun terjadi hujan. Pola ekuatorial ini menyerupai huruf M sedangkan pola lokal menyerupai bentuk U terbalik dimana pada sekitar bulan JJA justru curah hujannya tinggi. Pola lokal ini dipengaruhi oleh peristiwa cuaca berskala lokal seperti angin darat, angin laut, angin lembah dan angin gunung. Gambar di bawah merupakan distribusi pola curah hujan di tanah air yang menggambarkan kondisi tahun 1981-2010 dan 1991 sampai 2020. Dari dua periode klasifikasi tersebut sebenarnya yang menunjukkan iklim diwakili oleh periode 1991 sampai 2020, hal ini sesuai dengan kesepakatan WMO terkait dengan pemilihan durasi waktu dan basis waktu penentuan iklim.
Perbedaan kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa sejumlah wilayah telah mengalami perubahan iklim. Yang terlihat sekali adalah pulau Kalimantan (Borneo) dimana pada periode sebelumnya banyak yang merupakan wilayah berpola curah hujan ekuatorial yang kemudian bergeser menjadi bertipe monsoonal. Dari kedua gambar ditunjukkan bahwa monsoon lah yang menjadi pola umum curah hujan di Indonesia.
Berbagai variabilitas iklim juga turut
berpengaruh pada kondisi cuaca dan iklim, misalnya IOD (Indian Ocean Dipole),
ENSO (El
Nino and Southern Oscillation) dan MJO (Madden Julian
Oscillation). Indian Ocean Dipole sejak beberapa tahun ini diteliti dan makin mengungkapkan
bagaimana pengaruhnya pada berbagai bidang khususnya pertanian
dan perkebunan di Indonesia. Misalnya Pricilia (2015) menunjukkan hubungan
IOD yang lebih lemah dari ENSO terhadap curah hujan di pulau Jawa. Korelasi
terkuat terjadi antara curah hujan SON (September Oktober
November) dengan SST (sea surface temperature) Nino 3.4 JJA (Juni
Juli Agustus) sebelumnya. Curah hujan berhubungan kuat dengan luas panen dan
produktivitas padi. Efek ENSO dan IOD terasa kuat pada indikator curah hujan dan SST
di Jawa bagian tengah hingga timur. Elsa (2023) menemukan adanya hubungan atau
pengaruh yang kecil pada curah hujan ekuatorial di 9 kota/kabupaten di propinsi
Riau dengan nilai korelasi 0,038 sampai 0,221. Sedangkan hubungan antara curah
hujan dan IOD terhadap produktivitas kelapa sawit bervariasi yang terlihat
cukup kuat dengan nilai korelasi 0,54. Hal serupa ditunjukkan oleh Rinaldi
(2020) yang menyatakan bahwa pengaruh IOD dan ENSO lemah di Sumatera Utara.
Curah hujan pola semi annual berkorelasi kuat terhadap produktivitas kelapa
sawit sedangkan pola annual sangat kuat berpengaruh pada produktivitas kelapa sawit.
Memang agak aneh bahwa ternyata fenomena yang terjadi di samudra Hindia yang
begitu dekat bahkan berbatasan dengan propinsi di Utara pulau Sumatera ini
tidak memberikan pengaruh yang besar pada curah hujan di Sumatera Utara seperti
yang diduga. Perlu elaborasi lebih lanjut pada temuan tersebut.
ENSO berpengaruh besar pada kondisi pembentukan
perawanan di Indonesia bahkan jika El Nino sedang berlangsung di samudra
Pasifik pada kategori sedang sampai sangat kuat sering menyebabkan
kebakaran hutan dan lahan yang besar. Seperti sudah disebut di atas bahwa
kejadian El Nino tahun 2015 sampai 2016 menyebabkan kebakaran hutan dan lahan
jutaan hektar di Kalimantan dan Sumatera. Bahkan kebakaran ini juga merenggut
korban jiwa selain menimbulkan kerugian yang tak terhitung pada aktivitas
ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Pada
tahun 2019, El Nino kembali terjadi sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan
lahan di Sumatera dan Kalimantan seluas ratusan ribu hektar. Sedangkan La Nina
menyebabkan perairan di Indonesia menghangat dan pembentukan perawanan hujan
makin masif. Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa La Nina menyebabkan banyak
bencana banjir dan tanah longsor dimana mana.
Sebenarnya sangat menarik untuk mengaitkan suatu
fenomena tertentu dari komponen komponen penyebabnya seperti monsoon,
IOD, ENSO, SAO (semi annual oscillation), MJO dan berbagai
gelombang atmosfer yang mempunyai frekwensi tinggi. Namun biasanya bila kita
memilih curah hujan sebagai parameter iklim maka variabilitas iklim yang
terlihat mendominasi pengaruhnya adalah monsoon. Sinyal monsoon terlihat jauh
lebih menonjol daripada sinyal lainnya. Fenomena berfrekwensi tinggi
seperti yang ditunjukkan oleh gelombang atmosfer lebih banyak berdampak sinoptik
seperti pada cuaca sehari hari. Gelombang gravitasi, Rossby, dan Kelvin tidak
banyak penelitinya di dalam negeri.
Semi annual oscillation (SAO) merupakan imbas
dari gerak semu matahari diantara lintang 23,5o utara dan selatan. Meski sinyal
ini tampak dalam spektrum curah hujan namun tidak seperti yang annual
oscillation (AO) atau monsoon yang terlihat lebih superior.
Madden Julian Oscillation banyak mendapat perhatian para peneliti Indonesia sejak era tahun 1990 an hingga sekarang. Osilasi ini sering diduga sebagai penyebab banjir di Jakarta dan pantai Utara Jawa serta banjir Kalimantan Selatan beberapa waktu yang lalu. Kalau di Kalimantan, di sekitar ekuator, kehadiran MJO masih kalah kuat dibanding pengaruh lokal seperti yang dikemukakan oleh Najwa (2024). Pengaruh lokal yang dimaksud adalah topografi dan angin darat serta angin laut. Yang menarik tentang MJO ini, pertama dia berada dalam sabuk di sekitar ekuator dengan jarak tertentu dari ekuator dan dia mempengaruhi gerak ITCZ ke arah Utara ketika belahan bumi utara musim panas. Kedua, dia mengikuti kolam panas SST di samudra Hindia hingga samudra Pasifik. Ketika SST di samudra HIndia menghangat maka pembentukan perawanan cukup masif dan ketika menjalar ke timur pada saat IOD negatif akan mengalami penguatan menuju samudra Pasifik. Bilamana terjadi pada saat yang bersamaan IOD positif maka barangkali pergerakan ke timur ini akan terhambat oleh adanya kolam dingin di samudra Hindia bagian timur. Ketiga, perluasan vertical juga penting untuk dilihat sesuai dengan gerak semu matahari. Ketika ditemukan oleh Madden dan Jullian pada tahun 1971, osilasi ini terdeteksi dari permukaan sampai dengan ketinggian 150 mbar dengan periodesitas 41-50 hari. Pada era pemanasan global dan perubahan iklim, perlu dibuktikan apakah perilaku MJO ini mengalami perubahan dibandingkan dengan awal mula ditemukannya. Oleh karena itu sebenarnya masih banyak peluang untuk meneliti tentang MJO termasuk proyeksi keberadaannya di masa mendatang.
No comments:
Post a Comment